Dunia jurnalistik semakin berkembang, wartawan diberikan hak konstitusional atau perlindungan hukum dalam berkarya yang didukung perusahaan yang berbadan hukum sesuai dengan ketentuan untuk mempublikasikan sebuah informasi yang dikemas menjadi produk jurnalistik.
Melalui kebebasan Pers, masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa termasuk kinerja pemerintahan sehingga muncul mekanisme cek dan keseimbangan. Melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Sudah selayaknya media atau persuratkabaran dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi.
Selain itu, fungsinya juga untuk melengkapi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi.
Terlepas hiruk pikuk tentang sertifikasi kompetensi wartawan, menurut penulis dengan adanya UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers yang disebut didalamnya menjadikan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menjadi dasar kwalitas maupun kwantitas seorang pewarta.
Bisa dimaklumi, masih banyak yang belum faham tentang urgensi Sertifikasi Kompetensi Wartawan (SKW) dalam realita media dan kewartawanan saat ini. Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2010, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers No. 4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan menyebut ada enam tujuan SKW.
Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan; Ketiga, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya intelektual.
Sedangkan, Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan dan Keenam, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Dari tujuan di atas dapat disimpulkan beberapa hal. Produk jurnalistik adalah karya intelektual, sehingga proses mulai dari menggali informasi sampai menyiarkan dalam bentuk berita harus selalu melalui kerja serius, berdasarkan fakta, dapat dipertanggungjawabkan, sehingga kalaupun ada yang menggugat, penyelesaiannya secara intelektual pula.
Menurut penulis, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar oleh lembaga penguji yang diakui dewan Pers dengan serangkaian materi uji bertujuan untuk mengukur apakah seseorang yang bekerja sebagai wartawan, sudah pantas disebut sebagai profesional atau belum.
Sekedar diketahui, dalam tahapan maupun jenjang itu, mulai dari tingkatan muda, madya, atau utama materi uji nya pun tidak sama. Pertanyaannya, jika semua wartawan sudah pasti dapat menulis berita, namun hasil karya yang diciptakan apakah sudah sesuai standar?
Ada banyak hal bersifat teknis, yang disebut sebagai pengetahuan atau ketrampilan jurnalistik, yang sangat vital dimiliki wartawan profesional, sebelum dia berhak mendapatkan sertifikat dan kartu kompetensi. Terlebih, wartawan profesional juga diharuskan memiliki perencanaan dalam meliput suatu acara (untuk kelompok muda), atau membuat liputan investigasi atau indepth (untuk kelompok madya).
Tidak mudah mengikuti tahapan uji kompetensi wartawan di level muda, madya maupun utama. Pewarta dituntut memahami pesoalan etik dan hukum terkait pers agar dapat lolos ujian. Mulai dari yang bersifat elementer seperti sikap profesional terhadap narasumber, tidak mengintimidasi, sikap berimbang, konfirmasi, sampai dengan sikap independen.
Jadi, hemat penulis terkait sertifikasi kompetensi wartawan sangat dominan dijadikan dasar di era kebebasan Pers seperti saat ini. Apalagi dunia jurnalistik mengalami perubahan yang signifikan hingga menuju era digital. Sudah barangtentu, dengan mempunyai landasan wartawan kompetensi, seorang pewarta bisa mempunyai prinsip dalam bekerja mulai dari menggali informasi hingga mengemasnya dalam sebuah narasi berita yang akan disuguhkan ke khalayak.
Dengan begitu, seorang pewarta secara otomatis sudah mempunyai rambu rambu dalam menerapkan produk jurnalistik yang didasari dengan kode etik jurnalistik. Tentunya, hal tersebut bisa menghindari dari jeratan peraturan perundang-undangan yang berlaku diluar UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Seperti halnya prajurit pena sangat riskan dalam melaksanakan tugas jurnalistik lantaran sangat bersinggungan dengan Undang Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penulis : Eko Fariz Fahyudiono, S.H/Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan, PWI Lamongan/Managing Director di Fariz Fahyu & Rekan