Jakarta, Asatunet.com – Nama Purbaya Yudhi Sadewa belakangan menjadi trending topik di beberapa media lantaran kebijakannya yang menuai sorotan tajam kalangan pejabat maupun publik.
Sosok Menteri Keuangan itu dinilai mempunyai kebijakan yang dianggap ‘mengusik’ kelembagaan negara yang lain. Apalagi, pihaknya mengaku akan lebih sering melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke berbagai lembaga negara, termasuk bank BUMN dan pelabuhan.
Hal itu dimaksudkan untuk memantau pemanfaatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun. Sebaliknya, bak bak bola liar, hal tersebut dianggap menuai kritikan dari berbagai pihak, namun komitmen tersebut tetap dijalankan nantinya sebagai bentuk penegasan.
Seorang Purbaya, diketahui masih satu bulan menjabat menggantikan Sri Mulyani Indrawati, telah melakukan beberapa sidak sejak awal masa tugasnya. Pada akhir September lalu, ia tiba-tiba mendatangi kantor pusat PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) untuk mengecek kinerja bank tersebut.
Tak berhenti di situ, Purbaya melanjutkan sidak ke PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan baru-baru ini ke Tempat Pemeriksaan Fisik Terpadu (TPFT) Graha Segara di Pelabuhan Tanjung Priok, beserta Kantor Pelayanan Umum Utama Bea Cukai Tanjung Priok.
Terupdate, Purbaya berencana turun langsung ke lapangan, meninjau kinerja PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) bersama Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Tujuan utamanya: memastikan penyerapan dana pemerintah atau Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN benar-benar berjalan sesuai target.
Sementara, BTN sebagai salah satu bank pelat merah yang mendapat kepercayaan menyalurkan dana pemerintah, tercatat baru merealisasikan kredit sebesar Rp10,5 triliun dari total Rp 25 triliun dana penempatan.
Artinya, baru sekitar 42 persen dari total dana yang berhasil tersalurkan ke sektor produktif. Melihat capaian itu, Purbaya menegaskan pentingnya percepatan. Menurut Purbaya, pihaknya menginginkan dana public itu bukan sekedar tercatat dalam laporan tapi secara riil.
Dengan nada serius namun lugas, ia menyampaikan pesan yang menggambarkan tekad kuatnya untuk memastikan uang rakyat bekerja maksimal bagi pertumbuhan ekonomi.
“Tapi Dirut BTN bilang akan percepat yang Rp15 triliun itu. Kalau dia nggak bisa serap, kami akan pindahkan dalam waktu dekat,” ujar Purbaya di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, adapula beberapa pihak yang meminta dana APBN untuk membayar hutang beban proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB), namun oleh Purbaya langkah tersebut dinilai kurang tepat.
Sebab, menurutnya, tanggung jawab pembayaran seharusnya ditanggung pihak yang menikmati keuntungan dari proyek tersebut. “Oh saya nggak tahu. Kalau katanya itu kan whoosh sudah dikelola oleh Danantara kan,” jelas Purbaya.
Sementara menurutnya, Danantara sudah mengambil Rp 80 triliun lebih dividen dari BUMN. “Harusnya mereka tarik dari situ aja. Malah bisa bagus kalau mereka bisa tarik dari situ,” kata Purbaya di Tanjung Priok, Jakarta Utara, kemarin.
Dan juga jika penggunaan APBN untuk menutup kewajiban utang proyek tersebut akan menjadi hal yang janggal. Sebab, kata dia, keuntungan proyek berada di pihak lain, sementara beban pembayarannya justru ditanggung negara.
“Kalau ke APBN agak lucu. Karena untungnya ke dia, susahnya ke kita. Harusnya kalau diambil, ambil semua gitu,” ujar Purbaya.
Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, menyebut pihaknya telah mengajukan sejumlah opsi, termasuk kemungkinan agar sebagian utang proyek ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
"Kami sudah rapat dengan Menko Infrastruktur, kami juga sudah rapat dengan Kementerian Perhubungan, menawarkan beberapa opsi yang diharapkan bisa menjadi solusi terbaik bagi industri kereta api kita ke depan," ujar Dony di JCC, Senayan, Jakarta, sepekan yang lalu.
Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah penyerahan infrastruktur PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kepada pemerintah. Langkah ini akan mengubah model bisnis KCIC menjadi operator tanpa kepemilikan aset (asset-light).
Dalam skema tersebut, sebagian infrastruktur dapat dialihkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) atau bentuk pengelolaan lain yang memungkinkan operasional KCIC tetap berkelanjutan dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas.
Opsi lainnya adalah penambahan penyertaan modal atau ekuitas baru pada KCIC agar perusahaan lebih mandiri secara finansial. Dengan cara ini, beban bunga dan kewajiban pembayaran utang dapat ditanggung secara lebih proporsional.
Sebagai informasi, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung digarap KCIC melalui skema patungan, di mana 60 persen saham dimiliki oleh Indonesia melalui Pilar Sinergi Indonesia yang beranggotakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemegang saham mayoritas, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara sementara 40 persen sisanya dimiliki oleh pihak China.
Dari total nilai investasi sebesar 7,27 miliar dolar AS, termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sekitar 1,2 miliar dolar AS, sebanyak 75 persen pendanaan proyek diperoleh dari pinjaman Bank Pembangunan China (CDB) dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun, sedangkan 25 persen sisanya berasal dari modal gabungan KCIC.
Dengan mempertimbangkan dua opsi tersebut, Danantara kini berupaya mencari solusi terbaik agar keberlanjutan operasional KCIC tetap terjaga tanpa menekan kinerja keuangan BUMN, khususnya PT KAI sebagai induk usaha.