Surabaya, Asatunet.com - Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya meninjau ulang kebijakan perubahan skema bantuan pendidikan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026.
Ketua Komisi A DPRD Surabaya Yona Bagus Widyatmoko, menyampaikan kebijakan baru Pemkot Surabaya hanya memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa SMA/SMK berupa bantuan seragam berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan sosial di masyarakat.
"Kami berpikir kebijakan ini tidak memenuhi azas keadilan. Baik siswa negeri, maupun swasta sama-sama berasal dari keluarga miskin atau pramiskin. Kalau bantuan biaya pendidikan untuk yang negeri dihapus, pasti akan timbul polemik di bawah," kata Yona dalam keterangannya, Kemarin.
Berdasarkan data yang dipaparkan saat ini, menurut Yona, terdapat 16.800 siswa SMA/SMK penerima beasiswa pemuda tangguh, dimana dari jumlah tersebut sebanyak 9.858 siswa berasal dari sekolah swasta dan sisanya sebanyak 6.942 siswa dari sekolah negeri.
Selama ini, sebut Politikus dari Fraksi Gerindra, seluruh penerima baik negeri maupun swasta memperoleh bantuan biaya pendidikan sebesar Rp 200 ribu per/bulan, yang di kirim langsung kepada siswa.
Namun, pada tahun anggaran tahun 2026 Pemkot Surabaya berencana menghapus bantuan tunai bagi siswa negeri dan mengalihkan hanya dalam bentuk bantuan seragam. “Sementara untuk siswa swasta, nilai bantuan justru akan naik menjadi Rp 500 ribu per siswa per bulan,” tutur Yona.
Dia menegaskan, Komisi A tidak menolak kebijakan peningkatan bantuan bagi siswa swasta. Namun, Yona meminta agar besaran bantuan disesuaikan secara proporsional dan kuota penerima diperluas agar lebih banyak keluarga miskin bisa menikmati program tersebut.
“Kami menyarankan agar bantuan untuk swasta tidak langsung Rp 500 ribu Lebih baik dinaikkan menjadi Rp 250 ribu saja, tapi kuota dua kali lipat. Jadi, lebih banyak keluarga miskin yang tercover,” ucapnya.
Selain itu, Yona juga menyoroti mekanisme baru penyaluran bantuan yang langsung di transfer ke rekening sekolah, bukan ke siswa. Hal itu, katanya, dinilai berpotensi rawan disalahgunakan jika tidak diawasi secara ketat.
“Kalau dana di transfer ke sekolah, harus ada pengawasan ketat. Jangan sampai ada penyalahgunaan dana, misalnya SPP tidak sampai Rp 500 ribu, tapi sekolah tetap menerima penuh. Ini berpotensi rawan penyimpangan," tegasnya.
Yona mengingatkan agar Pemkot tidak terburu-buru menjalankan kebijakan baru tanpa kajian mendalam. "Kita khawatir perubahan skema ini bisa memicu gejolak dan kegaduhan di masyarakat, apalagi di kalangan keluarga miskin penerima manfaat program," ungkapnya.